Sabtu, 10 November 2012

hadits mu'allal


BAB I
PENDAHULUAN
I.       LATAR BELAKANG
Telah disepakati bahwa Hadits merupakan sumber hukum islam yang kedua setelah al-Qur’an. Namun Hadits juga tidak serta merta dapat dijadikan hukum islam, karena hanya hadits yang maqbul lah yang dapat dijadikan hujjah. Karena disamping hadits maqbul juga terdapat hadits yang mardud yang tidak dapat dijadikan hujjah. Seperti halnya hadits dhaif, hadits dhaif walaupun ada yang bisa dijadikan hujjah namun sebagian besar hadits dhaif hanya bisa dijadikan sebagai fadhailul amal. Karena dilihat dari tingkat kedhaifan yang ada pada hadits tersebut. Diantaranya hadits dhaif yyang disebabkan oleh illat, yaitu hadits mu’allal seperti yang akan dijelaskan pada makalah ini.

II.      RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah hadits Mu’allal itu?
2.      Dimanakah terjadinya ‘Illat?
3.      Bagaimana cara mendapatkan ‘Illat Hadits?
4.      Contohkan hadits Mu’allal?
III.   TUJUAN
1.      Mengetahui pengertian hadits Mu’allal
2.      Mengetahui letak terjadinya illat
3.      Mengetahui cara mendapakan ‘Illat dalam hadits
4.      Mengetahui contoh-contoh hadis Mu’allal






BAB II
PEMBAHASAN
HADITS MU’ALLAL
A.    PENGERTIAN
a.       Menurut Bahasa
Dalam bahasa mu’allal علَّل يعلِّلُ تعليلا فهو معلَّلٌ  berasal dari akar kata ‘illah (علّةٌ) yang diartikan al-maradh=penyakit. Seolah-olah hadits ini terdapat penyakityang membuat tidak sehat dan tidak kuat.[1] Atau mu’allal adalah isim Maf’ul dari kata a’allahu berarti “yang tercacat”, yaitu merupakan bentuk qiyas sharfy yang masyhur, dan ia adalah bahasa arab fasih, akan tetapi pengungkapkan dengan al-mu’allal dari ahli hadits itu merupakan suatu yang tidak masyhur dalam bahasa arab, dari kalangan ahli hadits ada yang mengatakan dengan al-Ma’allalu dan sebutan ini adalah lemah lagi jelek menurut ahli bahasa.[2]
b.      Menurut Istilah
هي عبارة عن اسبا ب خَفِيَّةٍ غَا مِضَةٍ طَرَأتْ على الحد يث فَقَدَحَتْ فى صِحَّتِهِ مع أنَّ الظا هرَ السلا مةُ منها
Illah adalah ungkapan beberapa sebab yang samar tersembunyi yann datang pada hadits kemudian membuat cacat dalam keabsahannya pada hal lahirnya selamat dari padanya.[3]
Adalah hadits yang terdapat didalamnya cacat yang dapat merusak keabsahan hadits tersebut sementara secara dlahir tidak nampak atau selamat dari cacat.[4]
هو الحديث الذى اُطُّلِعَ فيه على عِلَّةٍ تَقْدَحُ فى صِحَّتِهِ مع أنَّ الظا هرَ السلا مةُ منها [5]
Mu’allal menurut istilah para Ahli Hadits ialah hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi, yang kondusif berakibat cacatnya haditsnya hadits itu, namun dari sisi lahiriyahnya cacat tersebut tidak tampak karena sudah memenuhi syarat-syarat hadits maqbul.[6]
Definisi illat, Ia adalah sebab yang tersembunyi lagi tidak nampak yang dapat merusak keshahehan hadits. Dari definisi ini dapat diambil kesimpulan bahwa yang dinamakan illat menurut Ulama hadits haruslah terwujud dua syarat yaitu:
-          Tersembunyi lagi tidak nampak
-          Terdapat cacat yang dapat merusak keshahehan hadits
Maka apabila tidak ada salah satunya seperti bila illatnya nampak atau tidak merusak- maka ketika tidak disebut illat menurut  istilah.[7]
B.     TERJADINYA ILLAH
‘Illah bisa terjadi pada :
1)      Sanad saja dan ini yang kebih banyak, seperti me-mauquf-kan suatu hadits yang semestinya mursal atau sebaliknya.
2)      Pada Matan, seperti hadits tentang membaca basmalah dalam surah Al-Fatihah secara jahar (keras) dalam  shalat jahar (shalat wajib malam hari) menurut beberapa ulama, diantaranya Asy-Syafi’i, Ad-Daruquthni, Abdul Barr, Al-Baihaqi, Al-Iraqi,  dan As-Suyuthi.[8]
Adakah illat dala sanad dapat merusak pada matan Hadits??
a.       Kadang dapat merusak matan hadits karena rusaknya sanad hal itu seperti berillatnya karena terputus sanad.
b.      Kadang dapat merusak sanad hadits secara khusus, dan matannya sahih, seperti hadits ya’la bin Ubaid dan ats-Tsaury dan Amru bin Dinar dari Ibnu Umar secara marfu’ “Dua orang yang berjual beli itu boleh berhiyar”, Abu Ya’la mengira atas Sufyan ats-Tsauri dalam perkataannya “Umar bin Dinar” bahwasanya dia adalah Abdullah bin Dinar. Maka matan hadits ini adalah shahih, sekalipun dalam sekalipun dalam sanadnya terdapat illat kesalahan, karena masing-masing keduanya Amer dan Abdullah bin Dinar adalah rawi tsiqat. Maka penggantian tsiqat dengan tsiqat tidak dapat merusak keshahihan matan hadits. Sekalipun susunan sanadnya salah.[9]

C.     CARA MENDAPATKAN ILLAT HADITS
Untuk mendapatkan illat hadits dapat dibantu dengan beberapa perkara diantaranya adalah :
a.       Kesendiriannya rawi
b.      Menyelisihnya dengan rawi lainnya
c.       Indikasi-indikasi lain yang dapat mengandung dua perkara tersebut. Dan perkara-perkara inilah yang akan dapat memperjelas persangkaan yang terjadi dala hadits, adakalanya dengan cara menyingkap keterputusan sanad dalam suatu hadits yang diriwayatkan secara bersambung atau mauqufnya suatu hadits yang diriwayatkan secara marfu’ atau masuknya suatu hadits kepada hadits lain atau yang selain demikian itu dari beberapa persangkaan sekira dapat mengalahkan dugaan demikian, barulah dihukumi ketidakshahihan hadits tersebut. (MAHMUD hlm 99)
Mu’allal merupakan bagian ilmu hadits yang paling rumit dan sulit ditentukan sifat-sifatnya, sehingga sedikit sekali para ahli hadits yang membahasnya secara tuntas, padahal ahli hadits itu banyak yang berkapasitas dan kapabilitas, seperti Al-Bukhari, ‘Ali Ibnu Al-Madani, Ahmad bin Hanbal, Abu Hatim, Abu Zar’ah Al-Daaruquthni, dan lain-lain orang-orang yang dipengaruhi ilmu, kecerdasan, dan kefahaman yang sempurna dan banyak melakukan penelitianterhadap hadits, dimana hadits-hadits itu jumlahnya amat banyak.
Sebab-sebab yang samar yang berakibat hadits menjadi cacat itu seperti memaushulkan hadis mursal, yakni hadits itu mursal kepada Nabi saw. atau, memarfu’kan hadis mauquf, yakni hadits itu mauquf, kemudian seorang rawi memarfu’kannya. Atau, seperti mensubordinasikan suatu hadits kedalam hadits lain, misalnya ada dua hadits yang diriwayatkan dengansanadnya masing-masing, kenudian rawi-rawi dari salah satu sanad tersebut dimasukkan ke dalam satu sanad hadits yang lainnya, atau kedua hadits itu kemudian dikompensasikan menjadi satu bentuk. Atau seperti adanya identitas yang belum jelas dari seorang rawi dalam meriwayatkan hadits yang disebabkan lupa atau kelupaan, sehingga menimbulkan dismediate (ketidakbersambungnya) pada sanad atau matannya.[10]
Menemukan cacat (illat) Hadits ini membutuhkan pengetahuan yang luas, ingatan yang kuat dan pemahaman yang cermat. Sebab, illat itu sendiri samar lagi terrsembunyi, bahkan bagi orang-orang yang menekni ilmu hadits-hadits. Ibnu Hajar berkata: “Menemukan illat ini termasuk bagian ilmu Hadis yang paling samar dan paling rumit. Yang bisa melaksanakannya hanyalah orang yang oleh Allah diberi pemahaman yang tajam, pengetahuan yang sempurna terhadap ururtan-urutan perawi, dan kemampuan yang kuat terhadap sanad-sanad dan matan-matan.”[11]
Cara mengenal hadits mu’allal adalah dengan mengumpulkan jalur-jalur hadits dan meneliti perbedaan para perawinya, keuatan inatan mereka, serta kepintaran mereka.[12]
D.    CONTOH HADITS MU’ALLAL
1.      Contoh hadits mu’allal ini adalah hadits Ya’la ib Ubaid : “Dari Sufyan Al-Tsauri, dari ‘Amr ibn Dinar dari Ibn Umar dari Nabi SAW ia bersabda :
البَيِّعَانِ بِالخِيَار ما لَمْ يَتَفَرَّقَا
“Si penjual dan si pembeli boleh memilih selama belum berpisahan.”
‘Illat hadits ini terdapat pada ‘Amr ibn Dinar. Seharusnya bukan ia yang meriwayatkan, melainkan ‘Abdullah ibn Dinar. Hal ini diketahui dari riwayat-riwayat lain yang juga melalui sanad tersebut.[13]
2.      Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Abu Dawud, dari Qutaibah bin Sa’id, memberitakan kepada kami Abdussalam bin Harb Al-Mala’i dari Al-A’masy dari Anas berkata:
كا ن انبيّ صلى الله عليه وسلّم إِذا اَرَادَ الحَاجَةَ لم يَرْفَعْ ثَوْبَهُ حَتَّى يَدْ نُوَ مِنَ الأَرْضِ
Adalah Nabi saw ketika hedak hajat tidak mengangkat kainnya sehigga dekat dengan tanah.
Hadits diatas lahirnya shahih karena semua perawi dalam sanad tsiqah, tetapi Al-A’masy tidak mendengar dari Anas bin Malik. Ibnu Al-Madini mengatakan, bahwa Al-A’masy tidak mendengar daru Anas bin Malik. Dia melihatnya di Mekah shalat dibelakang Maqam Ibrahim.
Mengetahui ‘Illah hadits termasuk ilmu hadits yang sangat tinggi, karena tidak semua orang mampu menyingkap cacat yang tersembunyi dan tidak mudah mengetahuinya kecuali bagi para ahli hadits yang memiliki ketajaman dan kejernihan dalam berpikir. Diantara mereka Ibnu Al-Madini, Ahmad, Al-Bukhari, Abi Hatim, dan Ad-Daruquthni. Namun secara umun daoat diketahui dengan cara menghimpun beberapa sanad, kemudian dianalisis perbedaan para perawi dalam meriwayatkan, tingkat hapalan, dan ke-dhabith-an. [14]
E.     PEMAKAIAN HADITS DHA’IF
Mengenai hadits dha’if ada tiga madzhab ulama:
1.      Hadits dha’if itu sama sekali tiada boleh diamalkan.
2.      Hadits-hadits dha’if itu dipergunakan untuk menerangkan fadlilat-fadhilat amal
3.      Mempergunakan hadits dha’if, bila dalam suatu masalah tidak diperoleh hadits-hadits shahih atau hasan.
Dan perlu ditegaskan, bahwa menurut penerangan Al Hafidh Ibnu Hajar Al-asqalany bahwa oleh ulama-ulama yang mempergunakan hadits dha’if, mensyaratkan keblehan mengambilnya itu, tiga syarat:
a.       Kelemahan hadits itu tidak seberapa. Maka hadits yang yang hanya diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta, tiada di pakai.
b.      Petunjuk hadits itu ditunjuki oleh suatu dasar yang dipegang dengan arti bahwa memeganginya tidak berlawanan dengan sesuatu dasar hukum yang sudah dibenarkan.
c.       Jangan dii’tiqadkan kala memegangnya, bahwa hadits itu benar dari Nabi. Hanya dipergunakan sebagai ganti memegangi pendapat yang tiada berdasarkan nash sama sekali.[15]



BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hadits Mu’allal menurut istilah para Ahli Hadits ialah hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi, yang kondusif berakibat cacatnya haditsnya hadits itu, namun dari sisi lahiriyahnya cacat tersebut tidak tampak karena sudah memenuhi syarat-syarat hadits maqbul.
‘Illah bisa terjadi pada : Sanad saja dan ini yang kebih banyak, seperti me-mauquf-kan suatu hadits yang semestinya mursal atau sebaliknya. Dan juga pada Matan, seperti hadits tentang membaca basmalah dalam surah Al-Fatihah secara jahar (keras) dalam  shalat jahar (shalat wajib malam hari) menurut beberapa ulama, diantaranya Asy-Syafi’i, Ad-Daruquthni, Abdul Barr, Al-Baihaqi, Al-Iraqi,  dan As-Suyuthi.
Untuk mendapatkan illat hadits dapat dibantu dengan beberapa perkara diantaranya adalah :
o   Kesendiriannya rawi.
o   Menyelisihnya dengan rawi lainnya.
o   Indikasi-indikasi lain yang dapat mengandung dua perkara tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
Ash Shiddieqy,Teungku Muhammad Hasbi.  1999. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka rizki Putra.
Majid Khon, Abdul. 2009.  Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah.
Muttaqin,Zainul. 2004. Ulumul Hadits (terj. Taisir Musthalah Hadits-Mahmud Thahhan), Yogyakarta: Titian Ilahi press.
Qohar,Adnan.2009. Ilmu Ushul Hadits (terj. Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi-Muhammad Alawi Al-Maliki).Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Suparta,Munzier. 2003.  Ilmu Hadits. Jakarta: Fajar Interpratama Offset
Tim Pustaka Firdaus. 2002.  Membahas Ilmu-Ilmu Hadits (terj. Ulum Al-Hadits wa Musthalahuhu).Jakarta: Pustaka Firdaus.


[1] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, cet-3 (Jakarta: Amzah, 2009) hlm 189
[2] Zainul Muttaqin,Ulumul Hadits (terj. Taisir Musthalah Hadits-Mahmud Thahhan), cet-4 (Yogyakarta: Titian Ilahi press, 2004) hlm 97
[3] Abdul Majid Khon, Op. Cit
[4] Zainul Muttaqin,Ulumul Hadits (terj. Taisir Musthalah Hadits-Mahmud Thahhan), cet-4 (Yogyakarta: Titian Ilahi press, 2004) hlm 97
[5] Abdul Majid Khon, Op. Cit
[6] Adnan Qohar,Ilmu Ushul Hadits (terj. Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi-Muhammad Alawi Al-Maliki) cet-2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2009) hlm 121
[7]Zainul Muttaqin, Loc.Cit hlm 98
[8] Abdul Majid Khon, hlm 190
[9] Zainul Muttaqin, hlm 100
[10] Adnan Qohar, Ilmu Ushul Hadits (terj. Al-Manhalu al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi al-Syarifi-Muhammad Alawi Al-MAlikicet-1 (yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2009) hlm121-122
[11] Tim Pustaka Firdaus, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits (terj. Ulum Al-Hadits wa Musthalahuhu), cet-5 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002) hlm 171
[12] Ibid. 173
[13] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, cet-4 (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2003) hlm 169
[14] Abdul Majid Khon, Loc. Cit hlm 190
[15] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, cet-4 (Semarang: Pustaka rizki Putra,1999) hlm201-202