BAB I
PENDAHULUAN
I.
LATAR BELAKANG
Telah disepakati bahwa Hadits merupakan sumber hukum islam yang
kedua setelah al-Qur’an. Namun Hadits juga tidak serta merta dapat dijadikan
hukum islam, karena hanya hadits yang maqbul lah yang dapat dijadikan hujjah.
Karena disamping hadits maqbul juga terdapat hadits yang mardud yang tidak
dapat dijadikan hujjah. Seperti halnya hadits dhaif, hadits dhaif walaupun ada
yang bisa dijadikan hujjah namun sebagian besar hadits dhaif hanya bisa
dijadikan sebagai fadhailul amal. Karena dilihat dari tingkat kedhaifan yang
ada pada hadits tersebut. Diantaranya hadits dhaif yyang disebabkan oleh illat,
yaitu hadits mu’allal seperti yang akan dijelaskan pada makalah ini.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah
hadits Mu’allal itu?
2.
Dimanakah
terjadinya ‘Illat?
3.
Bagaimana
cara mendapatkan ‘Illat Hadits?
4.
Contohkan
hadits Mu’allal?
III.
TUJUAN
1.
Mengetahui
pengertian hadits Mu’allal
2.
Mengetahui
letak terjadinya illat
3.
Mengetahui
cara mendapakan ‘Illat dalam hadits
4.
Mengetahui
contoh-contoh hadis Mu’allal
BAB II
PEMBAHASAN
HADITS MU’ALLAL
A.
PENGERTIAN
a.
Menurut
Bahasa
Dalam bahasa mu’allal علَّل يعلِّلُ تعليلا فهو معلَّلٌ berasal dari akar kata ‘illah (علّةٌ) yang diartikan al-maradh=penyakit.
Seolah-olah hadits ini terdapat penyakityang membuat tidak sehat dan tidak
kuat.[1] Atau
mu’allal adalah isim
Maf’ul dari kata a’allahu berarti “yang tercacat”, yaitu merupakan
bentuk qiyas sharfy yang masyhur, dan ia adalah bahasa arab fasih, akan tetapi
pengungkapkan dengan al-mu’allal dari ahli hadits itu merupakan suatu
yang tidak masyhur dalam bahasa arab, dari kalangan ahli hadits ada yang
mengatakan dengan al-Ma’allalu dan sebutan ini adalah lemah lagi jelek menurut
ahli bahasa.[2]
b.
Menurut
Istilah
هي عبارة عن اسبا ب خَفِيَّةٍ غَا مِضَةٍ
طَرَأتْ على الحد يث فَقَدَحَتْ فى صِحَّتِهِ مع أنَّ الظا هرَ السلا مةُ منها
Illah adalah ungkapan beberapa sebab yang samar
tersembunyi yann datang pada hadits kemudian membuat cacat dalam keabsahannya
pada hal lahirnya selamat dari padanya.[3]
Adalah hadits yang terdapat didalamnya cacat yang dapat merusak
keabsahan hadits tersebut sementara secara dlahir tidak nampak atau selamat
dari cacat.[4]
هو الحديث الذى اُطُّلِعَ فيه على عِلَّةٍ
تَقْدَحُ فى صِحَّتِهِ مع أنَّ الظا هرَ السلا مةُ منها [5]
Mu’allal menurut istilah para Ahli Hadits ialah hadits yang
didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi, yang kondusif berakibat cacatnya
haditsnya hadits itu, namun dari sisi lahiriyahnya cacat tersebut tidak tampak
karena sudah memenuhi syarat-syarat hadits maqbul.[6]
Definisi illat, Ia adalah sebab yang tersembunyi lagi tidak nampak
yang dapat merusak keshahehan hadits. Dari definisi ini dapat diambil
kesimpulan bahwa yang dinamakan illat menurut Ulama hadits haruslah terwujud
dua syarat yaitu:
-
Tersembunyi
lagi tidak nampak
-
Terdapat
cacat yang dapat merusak keshahehan hadits
Maka apabila tidak ada salah satunya seperti bila illatnya nampak
atau tidak merusak- maka ketika tidak disebut illat menurut istilah.[7]
B.
TERJADINYA
ILLAH
‘Illah bisa terjadi pada :
1)
Sanad
saja dan ini yang kebih banyak, seperti me-mauquf-kan suatu
hadits yang semestinya mursal atau sebaliknya.
2)
Pada
Matan, seperti hadits tentang membaca basmalah dalam surah Al-Fatihah
secara jahar (keras) dalam
shalat jahar (shalat wajib malam hari) menurut beberapa ulama,
diantaranya Asy-Syafi’i, Ad-Daruquthni, Abdul Barr, Al-Baihaqi, Al-Iraqi, dan As-Suyuthi.[8]
Adakah illat dala sanad dapat merusak pada matan Hadits??
a.
Kadang
dapat merusak matan hadits karena rusaknya sanad hal itu seperti berillatnya
karena terputus sanad.
b.
Kadang
dapat merusak sanad hadits secara khusus, dan matannya sahih, seperti hadits
ya’la bin Ubaid dan ats-Tsaury dan Amru bin Dinar dari Ibnu Umar secara marfu’ “Dua
orang yang berjual beli itu boleh berhiyar”, Abu Ya’la mengira atas Sufyan
ats-Tsauri dalam perkataannya “Umar bin Dinar” bahwasanya dia adalah Abdullah
bin Dinar. Maka matan hadits ini adalah shahih, sekalipun dalam sekalipun dalam
sanadnya terdapat illat kesalahan, karena masing-masing keduanya Amer dan
Abdullah bin Dinar adalah rawi tsiqat. Maka penggantian tsiqat dengan tsiqat
tidak dapat merusak keshahihan matan hadits. Sekalipun susunan sanadnya salah.[9]
C.
CARA
MENDAPATKAN ILLAT HADITS
Untuk mendapatkan illat hadits dapat
dibantu dengan beberapa perkara diantaranya adalah :
a.
Kesendiriannya
rawi
b.
Menyelisihnya
dengan rawi lainnya
c.
Indikasi-indikasi
lain yang dapat mengandung dua perkara tersebut. Dan perkara-perkara inilah
yang akan dapat memperjelas persangkaan yang terjadi dala hadits, adakalanya
dengan cara menyingkap keterputusan sanad dalam suatu hadits yang diriwayatkan
secara bersambung atau mauqufnya suatu hadits yang diriwayatkan secara marfu’
atau masuknya suatu hadits kepada hadits lain atau yang selain demikian itu
dari beberapa persangkaan sekira dapat mengalahkan dugaan demikian, barulah
dihukumi ketidakshahihan hadits tersebut. (MAHMUD hlm 99)
Mu’allal
merupakan bagian ilmu hadits yang paling rumit dan sulit ditentukan
sifat-sifatnya, sehingga sedikit sekali para ahli hadits yang membahasnya
secara tuntas, padahal ahli hadits itu banyak yang berkapasitas dan
kapabilitas, seperti Al-Bukhari, ‘Ali Ibnu Al-Madani, Ahmad bin Hanbal, Abu
Hatim, Abu Zar’ah Al-Daaruquthni, dan lain-lain orang-orang yang dipengaruhi
ilmu, kecerdasan, dan kefahaman yang sempurna dan banyak melakukan
penelitianterhadap hadits, dimana hadits-hadits itu jumlahnya amat banyak.
Sebab-sebab
yang samar yang berakibat hadits menjadi cacat itu seperti memaushulkan hadis
mursal, yakni hadits itu mursal kepada Nabi saw. atau, memarfu’kan hadis
mauquf, yakni hadits itu mauquf, kemudian seorang rawi memarfu’kannya. Atau,
seperti mensubordinasikan suatu hadits kedalam hadits lain, misalnya ada dua
hadits yang diriwayatkan dengansanadnya masing-masing, kenudian rawi-rawi dari
salah satu sanad tersebut dimasukkan ke dalam satu sanad hadits yang lainnya,
atau kedua hadits itu kemudian dikompensasikan menjadi satu bentuk. Atau
seperti adanya identitas yang belum jelas dari seorang rawi dalam meriwayatkan
hadits yang disebabkan lupa atau kelupaan, sehingga menimbulkan dismediate (ketidakbersambungnya)
pada sanad atau matannya.[10]
Menemukan cacat
(illat) Hadits ini membutuhkan pengetahuan yang luas, ingatan yang kuat
dan pemahaman yang cermat. Sebab, illat itu sendiri samar lagi terrsembunyi,
bahkan bagi orang-orang yang menekni ilmu hadits-hadits. Ibnu Hajar berkata: “Menemukan
illat ini termasuk bagian ilmu Hadis yang paling samar dan paling rumit.
Yang bisa melaksanakannya hanyalah orang yang oleh Allah diberi pemahaman yang
tajam, pengetahuan yang sempurna terhadap ururtan-urutan perawi, dan kemampuan
yang kuat terhadap sanad-sanad dan matan-matan.”[11]
Cara mengenal
hadits mu’allal adalah dengan mengumpulkan jalur-jalur hadits dan
meneliti perbedaan para perawinya, keuatan inatan mereka, serta kepintaran
mereka.[12]
D.
CONTOH
HADITS MU’ALLAL
1. Contoh hadits mu’allal ini adalah hadits Ya’la ib Ubaid : “Dari
Sufyan Al-Tsauri, dari ‘Amr ibn Dinar dari Ibn Umar dari Nabi SAW ia bersabda :
البَيِّعَانِ بِالخِيَار ما لَمْ
يَتَفَرَّقَا
“Si penjual dan si
pembeli boleh memilih selama belum berpisahan.”
‘Illat hadits ini
terdapat pada ‘Amr ibn Dinar. Seharusnya bukan ia yang meriwayatkan, melainkan
‘Abdullah ibn Dinar. Hal ini diketahui dari riwayat-riwayat lain yang juga
melalui sanad tersebut.[13]
2. Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi
dan Abu Dawud, dari Qutaibah bin Sa’id, memberitakan kepada kami Abdussalam bin
Harb Al-Mala’i dari Al-A’masy dari Anas berkata:
كا ن انبيّ صلى الله عليه وسلّم إِذا اَرَادَ
الحَاجَةَ لم يَرْفَعْ ثَوْبَهُ حَتَّى يَدْ نُوَ مِنَ الأَرْضِ
Adalah Nabi saw ketika hedak hajat tidak mengangkat
kainnya sehigga dekat dengan tanah.
Hadits diatas lahirnya shahih karena semua
perawi dalam sanad tsiqah, tetapi Al-A’masy tidak mendengar dari Anas
bin Malik. Ibnu Al-Madini mengatakan, bahwa Al-A’masy tidak mendengar daru Anas
bin Malik. Dia melihatnya di Mekah shalat dibelakang Maqam Ibrahim.
Mengetahui ‘Illah hadits termasuk ilmu hadits yang
sangat tinggi, karena tidak semua orang mampu menyingkap cacat yang tersembunyi
dan tidak mudah mengetahuinya kecuali bagi para ahli hadits yang memiliki
ketajaman dan kejernihan dalam berpikir. Diantara mereka Ibnu Al-Madini, Ahmad,
Al-Bukhari, Abi Hatim, dan Ad-Daruquthni. Namun secara umun daoat diketahui
dengan cara menghimpun beberapa sanad, kemudian dianalisis perbedaan
para perawi dalam meriwayatkan, tingkat hapalan, dan ke-dhabith-an. [14]
E. PEMAKAIAN HADITS DHA’IF
Mengenai
hadits dha’if ada tiga madzhab ulama:
1. Hadits dha’if itu sama sekali tiada boleh
diamalkan.
2. Hadits-hadits dha’if itu dipergunakan untuk
menerangkan fadlilat-fadhilat amal
3. Mempergunakan hadits dha’if, bila dalam
suatu masalah tidak diperoleh hadits-hadits shahih atau hasan.
Dan perlu ditegaskan, bahwa menurut penerangan Al Hafidh Ibnu Hajar
Al-asqalany bahwa oleh ulama-ulama yang mempergunakan hadits dha’if,
mensyaratkan keblehan mengambilnya itu, tiga syarat:
a. Kelemahan hadits itu tidak seberapa. Maka
hadits yang yang hanya diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta, tiada di
pakai.
b. Petunjuk hadits itu ditunjuki oleh suatu
dasar yang dipegang dengan arti bahwa memeganginya tidak berlawanan dengan
sesuatu dasar hukum yang sudah dibenarkan.
c. Jangan dii’tiqadkan kala memegangnya, bahwa
hadits itu benar dari Nabi. Hanya dipergunakan sebagai ganti memegangi pendapat
yang tiada berdasarkan nash sama sekali.[15]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hadits Mu’allal menurut istilah para Ahli Hadits ialah hadits yang
didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi, yang kondusif berakibat cacatnya
haditsnya hadits itu, namun dari sisi lahiriyahnya cacat tersebut tidak tampak
karena sudah memenuhi syarat-syarat hadits maqbul.
‘Illah bisa terjadi pada : Sanad saja dan ini yang kebih
banyak, seperti me-mauquf-kan suatu hadits yang semestinya mursal atau
sebaliknya. Dan juga pada Matan, seperti hadits tentang membaca basmalah
dalam surah Al-Fatihah secara jahar (keras) dalam shalat jahar (shalat wajib malam hari)
menurut beberapa ulama, diantaranya Asy-Syafi’i, Ad-Daruquthni, Abdul Barr,
Al-Baihaqi, Al-Iraqi, dan As-Suyuthi.
Untuk mendapatkan illat hadits dapat dibantu dengan beberapa
perkara diantaranya adalah :
o
Kesendiriannya
rawi.
o
Menyelisihnya
dengan rawi lainnya.
o
Indikasi-indikasi
lain yang dapat mengandung dua perkara tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ash
Shiddieqy,Teungku Muhammad Hasbi. 1999. Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka rizki Putra.
Majid
Khon, Abdul. 2009. Ulumul Hadits. Jakarta:
Amzah.
Muttaqin,Zainul.
2004. Ulumul Hadits (terj. Taisir Musthalah Hadits-Mahmud Thahhan), Yogyakarta:
Titian Ilahi press.
Qohar,Adnan.2009.
Ilmu Ushul Hadits (terj. Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi
Al-Syarifi-Muhammad Alawi Al-Maliki).Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Suparta,Munzier.
2003. Ilmu Hadits. Jakarta: Fajar
Interpratama Offset
Tim
Pustaka Firdaus. 2002. Membahas
Ilmu-Ilmu Hadits (terj. Ulum Al-Hadits wa Musthalahuhu).Jakarta: Pustaka
Firdaus.
[1] Abdul
Majid Khon, Ulumul Hadits, cet-3 (Jakarta: Amzah, 2009) hlm 189
[2] Zainul
Muttaqin,Ulumul Hadits (terj. Taisir Musthalah Hadits-Mahmud Thahhan),
cet-4 (Yogyakarta: Titian Ilahi press, 2004) hlm 97
[3] Abdul
Majid Khon, Op. Cit
[4] Zainul
Muttaqin,Ulumul Hadits (terj. Taisir Musthalah Hadits-Mahmud Thahhan),
cet-4 (Yogyakarta: Titian Ilahi press, 2004) hlm 97
[5] Abdul
Majid Khon, Op. Cit
[6] Adnan
Qohar,Ilmu Ushul Hadits (terj. Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi
Al-Syarifi-Muhammad Alawi Al-Maliki) cet-2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset, 2009) hlm 121
[7]Zainul
Muttaqin, Loc.Cit hlm 98
[8] Abdul
Majid Khon, hlm 190
[9] Zainul
Muttaqin, hlm 100
[10] Adnan
Qohar, Ilmu Ushul Hadits (terj. Al-Manhalu al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi
al-Syarifi-Muhammad Alawi Al-MAliki)
cet-1 (yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2009) hlm121-122
[11] Tim
Pustaka Firdaus, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits (terj. Ulum Al-Hadits wa
Musthalahuhu), cet-5 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002) hlm 171
[12] Ibid.
173
[13] Munzier
Suparta, Ilmu Hadits, cet-4 (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2003)
hlm 169
[14] Abdul
Majid Khon, Loc. Cit hlm 190
[15] Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, cet-4
(Semarang: Pustaka rizki Putra,1999) hlm201-202