afiyatul-azkia-tjah-tegal
Sabtu, 22 Februari 2014
Tafsir Ayat Li'an
MAKALAH
TAFSIR AYAT TENTANG LI’AN
Di susun untuk memenuhi
Mata
kuliah : Tafsir
tematis 2
Dosen
pengampu : Moch. Machrus,
Lc, MSI
Di Susun oleh:
Afiyatul Azkia
(2031 111 007)
PROGRAM STUDI
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
JURUSAN
USHULUDDIN DAN DAKWAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Pernikahan adalah salah satu kebutuhan bagi
manusia karena pernikahan adalah ibadah
sunnah Rasul, untuk melangsungkan hidupnya, untuk mendapatkan ketenangan, untuk
mendapatkan keturunan, dan segala hal yang mendatangkan kebaikan.
Pernikahan dapat dikatakan sah apabila terlengkapinya
syarat dan rukun nikah. namun, dalam pernikahan tak selamanya berjalan sesuai
dengan apa yang diinginkan. Banyak terjadinya perceraian yang seringkali
memenuhi pengadilan agama membuktikan bahwa pernikahan tak selamanya bisa
dipertahankan. Perceraian bisa dilakukan dengan li’an.
Dalam makalah ini akan membahas mengenai tafsir ayat
al-Qur’an tentang li’an. Semoga bermanfaat.
PEMBAHASAN
TAFSIR AYAT TENTANG LI’AN
1.
TEKS QS. AN-NUUR [24]: 6-8
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ
أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ
أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ(6) وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ
الْكَاذِبِينَ(7)وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ
بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ(8) وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ
عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ(9)
وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ حَكِيمٌ(10)
2.
TERJEMAHAN
Ayat 6: “Dan orang-orang yang menuduh istrinya
(berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka
sendiri, maka kesaksian masing-masing orang itu ialah empat kali bersumpah
dengan (nama) Allah, babhwa sesungguhnya dia adalah termasuk orang yang benar.”
Ayat 7: “Dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allah
akan menimpanya, jika dia termasuk orang yang berdusta.”
Ayat 8: “Dan istri itu terhindar dari hukuman apabila
dia bersumpah empat kali atas (nama) Allah bahwa dia (suaminya) benar-benar
termasuk orang-orang yang berdusta.”
Ayat 9: “ “Dan (sumpah) yang kelima bahwa kemurkaan
Allah akan menimpanya (istri), jika dia (suaminya) itu termasuk orang yang
berkata benar.”
Ayat 10: “Dan sekiranya bukan karena Allah dan
rahmat-Nya kepadamu (niscaya kamu akan menemukan kesulitan). Dan sesungguhnya
Allah maha Penerima Tobat, Mahabijaksna.”[1]
3.
TAFSIR DAN KANDUNGAN
Ayat yang mulia ini merupakan
jalan keluar bagi suami dan tambahan jalan keluar, jika suami menuduh istrinya
berbuat zina dan dia kesulitan untuk mengajukan kesaksian.jalan keluar itu
ialah suami me-li’an istrinya sebagaimana diperintahkan Allah Azza wa
Jalla. Hakim meminta suami bersumpah dengan empat kesaksian atas nama Allah
sebagai padanan empat orang saksi. Kesaksian itu menyatakan bahwa dia benar
dalam tuduhan bahwa istrinya berbuat zina. “Dan yang kelima: bahwa laknat Allah
atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.” Menurut Imam Syafi’i dan
sekelompok ulama, dengan sumpah li’an ini berarti suami telah menyampaikan
kesaksian, dan istrinya pun haram atas dirinya untuk selamanya, lalu dia
memberi istrinya (melunasi) mahar. Kemudian suami menghadapkan istrinya kepada
hukuman perzinaan.[2]
Kata “Li’an” terambil dari kata
al-la’nu, yang artinya jauh dan laknat atau kutukan. Disebut demikian
karena suami yang saling berli’an itu berakibat saling dijauhkan oleh hukum dan
diharamkan berkumpul sebagai suami istri untuk selama-lamanya, atau karena yang
bersumpah li’san itu dalam kesaksiannya yang kelima menyatakan bersedia
menerima laknat (kutuk) Allah jika pernyataannya tidak benar.
Menurut istilah hukum Islam, li’an
ialah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya berbuat
zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam
tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia
bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya itu.[3]
Hukuman perzinaan itu tidak
dibebaskan dari istri, kecuali jika dia balik meli’an suaminya. Lalu si istri
bersaksi dengan empat kesaksian atas nama Allah bahwa tuduhan suami atas
perzinaan dirinya itu dusta. “Dan yang kelima ialah bahwa laknat Allah atasnya
jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” Karena itu, Allah Ta’ala
berfirman, “Istrinya itu dihindarkan dari hukuman,”, yakni had, “oleh sumpahnya
empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk
orang-orang yang berdusta. Dan yang elima ialah bahwa laknat Allah atasnya jika
suaminya itu termasuk orang-orang yang benar”. Kemurkaan Allah dikhususkan bagi
dirinya. Hal ini karena pada umumnya seorang laki-laki tidak mau membebankan
rasa malu kepada istrinya dan menuduhnya berbuat zina kecuali jika dia benar dan
mempunyai alasan, dan istrinya pun mengetahui kebenaran tuduhannya suaminya.
Karena itu, pada sumpah kelima yang diucapkan istri dikatakan bahwa murka Allah
akan menimpa dirinya jika dia berdusta. Yang dimurkai Allah ialah orang yang
mengetahui kebenaran, kemudian mengelak darinya.
Kemudian Allah Ta’ala
menceritakan kasih sayang dan kelembutan-Nya kepada makhluk-Nya dalam
pensyariatan jalan keluar bagi mereka dari suatu kemelut yang rumit. Maka Allah
Ta’ala berfirman, “Dan andai kata tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atas
dirimu,” niscaya kamu akan mengalami banyak kesulitan dalam persoalanmu, :dan
bahwa Allah itu penerima taubat” terhadap hamba-hamba-Nya, walaupun karunia itu
terjadi setelah sumpah yang berat, “lagi Maha Bijaksana” dalam perkara yang
disyariatkan, diperintahkan, dan dilarang-Nya.[4]
Bahwa sesungguhnya Allah SWT
mensyari’atkan li’an dengan maksud untuk menutupi kekejian ini atas hamba-Nya.
Maka kalau seandainya tidak disyari’atkan tentu suami (sebagai penuduh) terkena
hukuman (dera) padahal pada hakekatnya ia benar, sedang dengan li’an ini
kedua-duanya menanggung resiko kehinaan dan cela dan kalau seandainya dipadang
cukup (pembuktiannya) dengan bersumpahnya pihak suami maka tentu istri terkena
hukuman (rajam). Maka merupakan suatu kebijakan dan pandangan yang bagus bahwa
secara serentak disyari’atkan hukum (li’an) ini untuk keduanya, sehingga
keduanya terhindar dari hukuman lantaran sumpah-sumpahyang mereka ucapkan itu.[5]
AKIBAT LI’AN
Sunnah Nabi menentukan, bahwa
suami istri yang berli’an tidak dapat bertemu lagi (sebagai suami istri) buat
selama-lamanya, oleh karena itu apabila suami istri telah berli’an maka berarti
terjadilah perceraian antara keduanya untuk selama-lamanya. Ibnu Abbas r.a
meriwayatkan, bahwa Nabi Saw. bersabda:
المتلاعنان اذاتفرّ قالا يجتمعان ابدا
“Suami
istri yang berli’an apabila telah bercerai maka tidak dapat bertemu kembali
(sebagai suami istri) buat selama-lamanya”. (H.R Ad-Daruquthni)
Ali dan Ibnu Mas’ud r.a
berkata:
مضت السنّة ان لا يجتمعان
“Berlakulah
Sunnah Nabi bahwa suami istri yang berli’an tidak dapat bertemu kembali
(sebagai suami istri).” (H.R. Ad-Daruquthni).
Hikmah larangan bertemu lagi
buat selama-lamanya ini ialah karena
antara keduanya telah terjadi saling membenci dan saling memotong (tali
kekeluargaan dan kasih sayang) diantara mereka yang bersifat abadi, sebab pihak
suami kalau ia benar dalam tuduhannya berarti ia telah menyiarkan kekejian
istrinya dan celanya di hadapan khalayak ramai yang menyaksikan li’an itu
berlangsung, dimana hal itu sama saja dengan menempatkan istrinya dalam
kehinaan dan kerendahan, dan kalau ia dusta dalam tuduhannya maka benar-benar
ia telah berdusta terhadap istrinya dan menambah rasa sakit hatinya,
penyesalannya dan kemarahannya. Demikian juga pihak istri kalau ia benar telah
mebohongi suaminya (bersaksi dia tidak melakukan) maka benar-benar ia telah
merusak nama baik merusak nama baik keluarga, mengkhianati suami serta
membuatnya tercela dan terhina.
Perbedaan Fuqaha’ tentang kapan
diceraikannya istri dengan adanya li’an
Imam Syafi’i rah, berpendapat
bahwa perceraian di antara keduanya itu terjadi semata-mata sebab li’annya
suami meskipun pihak istri menolak untuk berli’an.
Imam Malik dan Ahmad dalam
salah satu dari dua riwayatnya berpendapat bahwa perceraian itu tidak terjadi
malainkan apabila kedua suami istri itu sama-sama berli’an.
Sedang Abu Hanifah dan Ahmad
dalam riwayatnya yang lain berpendapat bahwa perceraian itu tidak terjadi
melainkan setelah terjadi saling berli’an dengan sempurna dan kemudian keduanya
diceraikan oleh hakim.[6]
PELAKSANA’AN LI’AN
Fuqaha’ sepakat bahwa
pelaksanaan Li’an harus di depan hakim atau orang yang dikuasakan olehnya sebab
apabila satu pihak dari suami-istri itu menolak untuk berli’an maka ia harus di
hukum (dera/rajam), sedang melaksanakan hukuman adalah khusus menjadi wewenang
Hakim (pengadilan). Imam seharusnya menasihati dan mamberi peringatan tentang
hukuman dan laknat Allah jika terbukti beerdusta.[7]
Teknisnya yaitu seorang suami
yang akan meli’an istrinya mengucapkan kalimat sumpah di bawah ini sebanyak 4
kali:
اشهد بالله إنّنى لمن الصّادقين فيما رميت
به زوجتي فلانة من الزّنا
Aku bersaksi dengan nama Allah
bahwa aku termasuk orang yang jujur dalam tuduhan terhadap istriku si Fulan
dengan perbuatan zina.
Yang kelima ditambah kalimat
dibawah ini:
وإنّ لعنة الله عليّ ان كنت من الكا ذبين
Bahwasanya laknat Allah atasku
jika aku termasuk orang-orang yang berbohong.
Dan istri menjawab suami dengan
kalimat di bawah ini sebanyak 4 kali:
اشهد بالله إنّه لمن الكا ذبين فيما رما ني
به من الزّنا
Aku bersaksi kepada Allah
bahwasanya dia termasuk orang-orang yang berbohong dalam tuduhannya terhadapku
dengan perbuatan zina.
وإنّ غضب الله عليّ ان كان من الصّادقين
فيما رما ني به من الزّنا
Sesungguhnya murka Allah atasku
jika memang dia termasuk orang yang jujur dengan tuduhannya terhadapku dengan
perbuatan zina.
Ditambah kalimat ini jika sang
suami ingin menafikan anak yang dilahirkan istrinya.
وإنّ هذا الولد من الزّنا
Dan bahwasanya anak itu hasil
dari zina.[8]
4. SABABUN NUZUL
Imam Bukhari, Tirmidzi dan Ibnu
Majjah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a bahwa Hilal bin Umayah menuduh istrinya
(berzina) dengan Syarik bin Sahma’ di sisi Nabi Saw. lalu Nabi Saw bersabda:
البيّنة و الاّ فحدّ في ظهرك
(Tampilkan) bukti! Jika tidak, hukuman (dera) menimpa
punggungmu!
Lalu Hilal bertanya: Ya
Rasulullah, apakah kalau salah seorang diantara kita melihat istrinya bepergian
dengan seorang laki-laki lain itu masih harus mencari bukti (lagi)? Nabi Saw
bersabda (lagi): “Tampilkan bukti! Jika tidak, hukuman (dera) mengenai
punggungmu”. Hilal lalu berkata: Demi Dzat yang mengutusmu dengan benar, semoga
Allah segera menurunkan (ayat) yang akan membebaskan punggungku dari hukuman.
Lalu Allah menurunkan (ayat): “Dan orang-orang yang menuduh istri-istri
mereka...... dst. Sampai firman-Nya, jika ia (suaminya) benar”. Kemudian Nabi
Saw pergi meningggalkannya lalu ia memanggil Hilal dan istrinya lalu Hilal
datang kemudian ia bersumpah (li’an), lalu Nabi Saw bersabda: “Allah maha tahu,
dimana sesungguhnya salah seorang diantara kalian ini berdua ini pasti ada yang
dusta, lalu apakah ada diantara kalian yang sudi bertaubat?” kemudian istrinya
berdiri lalu bersumpah pula dan tatkala sampai pada sumpahnya yang kelima,
orang-orang pada menghentikannya seraya berkata: sesungguhnya sumpah yang
kelima inilah yang menentukan! Lalu ia berhenti dan mundur hingga kita mengira
bahwa ia akan membatalkan (sumpahnya), lalu ia berkata: Aku tidak akan membuat
cela kaumku! Kemudian ia melanjutkan (sumpahnya)........ Lalu Nabi Saw
bersabda: “Lihatlah dia itu, jika kelak ia datang membawa bayinya yang kedua
matanya hitam laksana bercelak, kedua pinggulnya besar dan kedua betisnya
berisi, maka ia anak si Syarik bin Sahma’”. Kemudian datanglah perempuan itu
membawa bayinya dalam keadaan persis seperti yanng yang disifati Nabi Saw, lalu
Nabi Saw bersabda: “Kalau seandainya belum ada keputusan dari Kitabullah tentu
ada masalah bagiku dan perempuan itu.”[9]
BAB III
KESIMPULAN
1. Apabila suami menuduh istrinya
berzina maka noleh jadi ia di hukum (had) atau berli’an
2. Li’an khusus terhadap suami
istri
3. Li’an betujuan untuk
kemaslahatan suami istri.
4. Kata-kata li’an harus diucapkan
lima kali dengan redaksi tersendiri.
5. Seharusnya li’an dilaksanakan
dengan berwibawa,baik tempat dan waktunya.
6. Bagi suami istri yang berli’an
haram kembali selama-lamanya.
7. Dipergunakannya kata “la’nat”
khusus untuk suami dan “ghadab” (murka) untuk istri adalah untuk membedakan di
antara kejiwaan suami istri.
Wallahu
a’lam......
DAFTAR PUSTAKA
Ar-Rifa’i, Muhammad
Nasib. 2006. Taisiru al-Aliyul Qadir
li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir(terj. Drs. Syihabuddin). Depok: Gema
Insani.
Baharun,
Segaf Hasan. 2006. Bagaimana Anda Menika
dan Mengatasi permasalahannya?. Bangil: Yayasan Pondok Pesantren
Darullughahwadda’wah.
Ghazaly, Abd.
Rahman. 2006. Fiqih Munakahat. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Hamidy, Mu’ammal
dan Imron A. Manan. 2003. Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabun. Surabaya:
PT. Bina Ilmu.
Tim pelaksana pentashihan mushaf al-Qur’an. 2009. Bayan Al-Qur’an.
Jakarta:Bayan Al-Qur’an.
[1] Tim pelaksana pentashihan mushaf al-Qur’an.Bayan Al-Qur’an.(Jakarta:Bayan
Al-Qur’an, 2009) hlm. 350
[2] Muhammad
Nasib ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir(terj.
Drs. Syihabuddin), jilid-3, cet-8, (Depok: Gema Insani, 2006) hlm 459
[3] Abd.
Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, cet-2 (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006) hlm. 238-239
[4] Op.Cit.
[5] Mu’ammal
Hamidy dan Imron A. Manan, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, jilid-2,
cet-4 (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003) hlm. 163
[6] Ibid.
Hlm. 175-176
[7] Ibid.
Hlm. 168
[8] Segaf
Hasan Baharun, Bagaimana Anda Menika
dan Mengatasi permasalahannya?, cet-1, (Bangil: Yayasan Pondok
Pesantren Darullughahwadda’wah, 2006)
hlm. 182-183
[9] Op.Cit
hlm.159-160
Kamis, 21 Maret 2013
makalah asbabul wurud
MAKALAH
ASBAB WURUD AL-HADITS
Di susun untuk memenuhi
Mata kuliah : Ulumul Hadits 4
Dosen pengampu :
H. Mubarok, Lc. M,A
Di Susun oleh:
Afiyatul Azkia
(2031 111 007)
PRODI TAFSIR
HADITS
JURUSAN
USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Hadits atau sunnah Nabi SAW dalam pandangan umat Islam merupakan
salah satu sumber ajaran Islam. Secara struktural ia menduduki posisi kedua
setelah al-Qur’an. Sedangkan secara fungsioanal ia merupakan bayan (penjelas)
terhadap al-Qur’an. Ini artinya ia mempunyai posisi yang sangat signifikan dan
strategis. Oleh sebab itu, kita sangat berkepentingan untuk menggali
butir-butir ajaran Islam yang tedapat dalam hadits-hadits tersebut,.
Namun demikian, nampaknya untuk mennggali dan memahami kandungan
makna dari suatu hadits secara “baik”, tidak semudah membalikkan telapak
tangan, jika enggan berkata sulit sekali. Oleh karena itu, mengetahui dan
memahami latar belakang munculnya suatu hadits atau asbabu wurud al-hadits
sagat diperlukan dalam rangka memahami dan mencari mutiara hikmah serta ide-ide
dasar dalam suatu hadits.
Dalam makalah ini akan dibahas sedikit tentang sabab wurud
al-hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
ASBAB AL-WURUD
A.
PENGERTIAN ASBAB AL-WURUD
1.
Menurut Balqini
Sebagaimna dikutip dari pendapat Ibnu Daqiq al-‘Aid bahwa sebagian
ulama ahli hadits muta’akhorin mensyariatkan adanya disiplin ilmu sebab-sebab
adanya hadits, sebagaimana disiplin ilmu asbab an-Nuzul dalam al-Qur’an. Hal
ini menunjukkan bahwa pengertian sabab wurud al-hadits itu sama seperti
pengertian sabab nuzul al-Qur’an.
Sabab wurud menurut al-Balqani itu adalah hadits yang masuk dalam
kategori hadits qouliyyah, terkait hadits fi’liyyah dan taqririyah tidak masuk
dalam kategori sabab wurud.[1]
Hadits-hadits yang setelah masa nabi tidak bisa diberikan sebab
wurud.[2]
2.
Menurut al-Suyuti
أنّه ما يكون طريقا لتحديد المراد من الحديث
من عموم أو حصوص أو إطلاق أو تقييد أو نسخ أو نحو ذا لك
“Sesuatu yang
menjadi thariq (metode) untuk menentukan maksud suatu hadits yang
bersifat umum, atau khusus, mutlak atau muqayyad, dan untuk menentukan
ada tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatu hadits.
Jika dilihat secara kritis, sebenarnya
definisi yang dikemukakan as-Suyuthi lebih mengacu kepada fungsi asbab murud
al-hadits, yakni untuk menentukan takhsis (pengkhusussan) dari yang ‘am (umum),
membatasi yang mutlaq, serta untuk menentukan ada tidaknya naskh mansukh dalam
hadits dan lain sebagainya.[3]
3.
Menurut Ibn Hamzah
Sebab-sebab yang dimana sebab itu mengikuti lafadz-lafadz yang
disampaikan Nabi di waktu tersebut, untuk menunjukkan perkara yang dilakukan.[4]
B.
PERBEDAAN ANTARA SABAB WURUD DENGAN
SABAB DAN ‘ILLAT DALAM USHUL FIQH
1.
Perbedaan antara sebab wurudul
hadits dan sebab menurut ushuliyyin
Pengertian sabab menurut ushuliyyin
Sesuatu yang dijadikan oleh syara’ supaya ditetapkan sebagai hukum
syara’, dengan tujuan agar ditemukan hukum sesuai dengan wujud hukumnya, dan
menghilangkan/ menghapuskan sesuatu yang bukan hukum.
Asbab menurut ushuliyyin itu di istinbatkan dari hadits, yang mana
jauh berbeda dari asbabul wurudul hadits.
Sebab menurut ushuliyyin itu lebih umum sedangkan sebab wurudul
hadits itu lebih khusus.[5]
2.
Perbedaan antara sabab wurud hadits
dan illat menurut ushul fiqh
Illat adalah sesuatu yang mensifati asal, yang hukumnya dibangun
oleh asal serta diketahuinya adanya sebuah hukumdi dalam cabangnya.
Contoh: sifat mabuk itu berawal dari khomr (asal), atas hal itu
maka khomr dihikumi haram dan diketahui wujud keharamannya disegala hal yang
memabukkan (far’u). Hal ini disandarkan pada “illat adalah sesuatu yang
diketahui untuk hukum dan dinamakan illat fokus terhadap hukum dan
sebab-sebabnya”.
Menurut musthafa az-Zarqa: illat adalah bagian khusus dari sebab.
Maksudnya sebab dzohir yang didalamnya dibangun sebuah hukum syariat –illat itu
sifat yang dijadikan oleh syariat secara fokus untuk menetapkan hukum,
sekiranya hukum yang jelas itu lebih jelas, dan yang samar bisa menjadi jelas.
Jadi, sabab wurud itu lebih umum dari pada illat, setiap illat
adalah sebab, dan sebab bukan illat. Ada hubungan antara sifat dan hukum. Sifat
itu illat.
Menurut Abu al-Baqo
sebab itu menghasilkan sesuatu sedang illat tidak menghasilkan. Sebab wurus itu
umum dan mencakup semuanya termasuk illat.[6]
C.
MACAM-MACAM SEBAB WURUD HADITS DAN CONTOHNYA
Menurut Imam
as-Suyuthi asbabul wurud itu bisa dikategorikan menjadi tiga macam:
1.
Sebab yang
berupa ayat al-Qur’an
Atinya disini ayat al-Qur’an menjadi penyebab Nabi SAW mengeluarkan
sabdanya. Contohnyaantara lain adalah firman Allah SWT yang berbunyi:
الَّذِينَ
آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ
مُهْتَدُونَ
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan
iman mereka dengan kelaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S.
al-An’am: 82)
Ketika
itu sebagian sahabat memahami kata “azh-zhulmu” dengan pengertian al-jaur
yang berarti berbuat aniaya atau melanggar aturan. Nabi SAW kemudian
memeberikan penjelasan bahwa yang diaksud azh-zhulmu dalam firman
tersebut adalah asy-syirku yakni perbuatan syirik, sebagaimana yang
disebutkan dalam surat al-Luqman :
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya
syirik itu merupakan kezhaliman yang besar.” (Q.S. al-Luqman: 13)
2.
Sebab yang berupa hadits
Artinya
pada waktu itu terdapat suatu hadits, namun sebagian sahabat merasa kesulitan
memahaminya, maka kemudian muncul hadits lain yang memberikan penjelasan
terhadap hadits tersebut. Contoh adalah hadits yang berbunyi :
إنَّالله تعا لى ملا ئكة فى الارض يَنْطِقُ
على اَلْسِنَة بنى أدم بما فى المرء من خير أو شر.
Sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi.
Yang dapat berbicara melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan keburukan
seseorang.
Dalam memahami hadits tersebut, ternyata para sahabat
merasa kesulitan, maka mereka bertanya : Ya Rasul !, bagaimana hal itu dapat
terjadi ? makla nabi SAW menjelaskan lewat sabdanya yang lain, sebagaimna
hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Suatu ketika nabi SAW bertemu
dengan rombongan yang membawa jenazah. Para sahabat kemudian memeberikan pujian
terhadap jenazah tersebut, seraya bekata : “Jenazah itu baik”. Mendengar pujian
tersebut, maka nabi berkata: “wajabat” (pasti masuk surga) tiga kali.
Kemudian nabi SAW bertemu lagi dengan rombongan yang memebawa jenazah lain.
Ternyata para sahabat mencelanya, seraya berkata : “Dia itu orang jahat”.
Mendengar pernyataan itu, maka Nabi berkata : “Wajabat” (pasti masuk neraka).
Ketika mendengar komentar Nabi SAW yang demikian, maka
para sahaat bertanya: “Ya Rasul !, mengapa terhadap jenazah pertama engkau ikut
memuji sedangkan terhadap jenazah kedua tuan ikut mencelanya. Engkau katakan
kepada kedua jenazah tersebut: “wajabat” sampai tiga kali. Nabi
menjawab: Ya benar. Lalu Nabi berkata kepada Abu Bakar sesungguhnya Allah SWT
memeliki para malaikat di bumi. Melalui mulut merekalah, malaikat akan
menyatakan tentang kebaikan dan keburukan seseorang. (HR al-Hakim dan
al-Baihaqi).
Dengan demikian, yang dimaksud dengan para malaikat
Allah di bumi yang menceritakan tentang kebaikan keburukan seseorang adalah
para sahabat atau orang-orang yang mengatakan bahwa jenazah itu baik dan
jenazah itu jahat.
3. Sebab yang berupa perkara yang
berkaitan dengan para pendengar di kalangan sahabat
Sebagai contoh adalah persoalan yang berkaitan dengan
sahabat Syuraid bin Suwaid ats-Tsaqafi. Pada waktu Fath Makkah (pembukaan kota
Makkah) beliau pernah datang kepada Nabi SAW seraya berkata: “Saya bernazar
akan shalat di Baitul Maqdis. Mendengar pernyataan sahabat tersebut, lalu
Nabi bersabda: “Shalat disini, yakni masjidil haram itu lebih utama”. Nabi
SAW lalu bersabda “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya,
seandainya kamu shalat disini (masjid al-Haram Makkah), maka sudah mencukupi
bagimu untuk mkemenuhi nazarmu”. Kemudian Nabi SAW bersabda lagi: “Shalat
di masjid ii, yaitu Masjid al-Haram itu lebih utama dari pada 100.000 kali
shalat di selain masjid al-Haram”. (H.R. Abdurrazzaq dalam kitab
al-Mushannafnya).[7]
BAB III
KESIMPULAN
Asbabul wurudul hadits
merupakan konteks historisitas yang melatarbelakangi munculnya suatu hadits. Ia
dapat berupa peristiwa atau pertanyaan yang terjadi pada saat hadits itu
disampaikan Nabi SAW. dengan lain ungkapan, asbabul wurud adalah faktor-faktor
yang melatarbelakangi munculnya suatu hadits.
Asababul wurud ada tiga. Yaitu,
sebab yang berupa ayat al-Qur’an, sebab yang berupa hadits, sebab yang berupa
perkara yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin,
Muhammad ‘Asri Zainul. 2006. Sabab Wurud al-Hadits (Dhowabith wa ma’ayir). Beirut:
Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Munawar,
Said Agil Husin dan Abdul Mustaqim. 2001. Asbabul
Wurud Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset.
[1] Muhammad
‘Asri Zainul Abidin, Sabab Wurud al-Hadits (Dhowabith wa ma’ayir), cet-2
(Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2006) hlm 22
[2] Ibid hlm
26
[3] Said
Agil Husin Munawar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan
Sosio-Historis-Kontekstual, cet-1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,
2001) hlm 7-8
[4] Muhammad
‘Asri Zainul Abidin, hlm 30
[5] Muhammad
‘Asri Zainul Abidin, hlm35
[6] Muhammad
‘Asri Zainul Abidin, hlm 55-58
[7] Said
Agil Husin Munawar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan
Sosio-Historis-Kontekstual, cet-1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,
2001) hlm 9-12
Langganan:
Postingan (Atom)